4 September 2010

6 Alasan Mengundurkan Diri dari Pekerjaan

Mendapatkan pekerjaan tak semudah seperti membalikkan telap tangan. Namun ketika pekerjaan telah didapatkan, ada saja keluhan yang terucap dari mulut. Kerja pun tanpa hati dan semangat.
Memutuskan berhenti kerja dari sebuah perusahaan memang tidak boleh emosional. Ada sejumlah alasan yang biasa melatari mereka yang bersemangat untuk berhenti atau resign.


1. Ingin upah lebih tinggi

Ini adalah alasan paling menonjol dalam sejumlah kasus pindah kerja. Jika Anda yakin bisa menghasilkan lebih banyak uang dan tunjangan asuransi di tempat lain, lebih baik keluar dari pekerjaan itu. Pastikan Anda memiliki prioritas tempat kerja lainnya, sebelum benar-benar memutuskan untuk resign.


2. Tidak menikmati

Kadang, orang tidak menikmati pekerjaan mereka. Jika rasa tak nyaman semakin kuat, berpikir pindah kerja tampaknya lebih baik daripada performa memburuk gara-gara memaksakan diri. Kondisi terpaksa itu juga berpotensi membuat stres dan membahayakan kesehatan. Lebih baik, putuskan untuk mencari pekerjaan yang lebih cocok.

3. Pantas mendapat jabatan lebih baik

Tentu saja, alasan untuk berhenti mungkin karena Anda berpikir layak mendapat posisi atau jabatan lebih baik. Jika ini alasannya, Anda harus memastikan Anda memiliki pekerjaan pengganti yang lebih baik sebelum Anda berhenti.

4. Ada tawaran kerja lebih baik

Jika Anda memiliki tawaran pekerjaan yang lebih baik, maka itu pasti akan menjadi langkah besar. Penawaran pekerjaan harus memiliki efek jangka panjang. Jika harapan jangka panjang tak akan terjamin, lebih baik pertimbangkan untuk bertahan di kantor lama.


5. Jam kerja tak sesuai

Karyawan selalu dituntut untuk menaati aturan perusahaan dan bos. Termasuk tuntutan lembur dan menyelesaikan beban pekerjaan di luar jam kerja. Banyak orang merasa tak tahan dengan jam kerja yang berlebih, karena menyita waktu berkumpul dengan keluarga dan istirahat. Maka tak jarang, kebanyakan orang memilih berhenti kerja karena alasan jam kerja tak sesuai.

6. Butuh waktu merawat anak

Banyak wanita lebih suka memilih pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, karena sekaligus bisa mengawasi anak. Tak jarang wanita karier memutuskan berhenti bekerja di kantor usai menikah dan memiliki anak.

1 September 2010

Cara Menghilangkan Kebosanan

”Duh, bosen deh kalau liburan di rumah terus,” kata Lia (12 tahun) kepada orangtuanya. Mereka sekeluarga hanya menghabiskan long weekend awal bulan lalu di rumah saja.  Ya, kita semua pasti merasa bosan jika harus berada di suatu tempat dalam waktu yang tidak sebentar, tanpa ada hal yang menarik atau kegiatan yang bisa dilakukan.
Meski terkesan biasa dan bahkan mungkin sering Anda alami, rasa bosan tetap  harus diwaspadai, karena menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Departement of Epidemiology and Public Health, University London, orang-orang yang mengalami kebosanan dalam hidupnya berisiko dua setengah kali lebih besar meninggal akibat masalah pada jantung, dibandingkan mereka yang tidak merasakan kebosanan dalam hidupnya. Apa sebenarnya rasa bosan itu, bagaimana kita harus menghadapinya, dan adakah cara untuk mengatasinya?

Semua bisa alami rasa bosan
Bosan, seperti yang dialami Lia, memang biasanya terjadi ketika kita tidak melakukan apa-apa dalam jangka waktu yang cukup lama. Seperti yang disampaikan oleh Stephen Vodanovich dari University of West Florida, “Orang yang mudah merasa bosan, biasanya tidak melihat lingkungannya sebagai sesuatu yang menggairahkan, dan tidak memiliki banyak hal untuk dieksplorasi.”

Karena itu, orang yang kreatif dan punya banyak minat cenderung tak mudah merasa bosan. ”Mereka bisa menyibukkan dirinya dengan berbagai hal,” kata Vodanovich. Tapi, bagi Anda yang punya segudang kegiatan, jangan buru-buru senang, karena nyatanya kebosanan pun bisa terjadi saat kita berkegiatan.

Dikatakan oleh Vodanovich, pekerjaan yang bisa diselesaikan tanpa harus banyak berpikir, seperti pekerjaan di pabrik, atau sebaliknya pekerjaan yang terlalu rumit seperti penghitungan pajak, keduanya bisa menyebabkan kebosanan. ”Yang biasa disebut sebagai tugas yang membosankan adalah pekerjaan yang membutuhkan usaha keras untuk mempertahankan fokus dan perhatian,” katanya.

Bosan yang patologis
Otto Fenichel, seorang psikoanalisis dari Austria meyakini bahwa kebosanan terjadi karena dorongan hati, hasrat, dan keinginan yang terus menerus ditekan, dan hasrat yang tertahan ini bisa berubah menjadi perasaan tak punya tujuan hidup.

Kebosanan jenis ini, yang terjadi terus-menerus, dan menjadi bagian hidup, perlahan bisa ”menyedot habis” hidup kita, disebut oleh Fenichel sebagai kebosanan yang patologis.
Hal yang sama disampaikan oleh Purnawan, ”Rasa bosan baru menjadi sesuatu yang mengganggu ketika kita dalam keadaan tak berdaya untuk mengubah suasana/obyek yang menimbulkan rasa bosan. Perasaan tidak berdaya inilah yang mengganggu baik jiwa maupun tubuh,” kata Purnawan.

Untuk mencegah munculnya efek buruk itu semua, maka kita harus menghindari rasa bosan. Salah satu hal yang membuat seseorang merasa tak berdaya untuk mengubah sesuatu yang membuatnya bosan, menurut Purnawan, adalah karena merasa terikat pada believes (nilai, keyakinan) tertentu. ”Agar bisa terbebas dari perasaan tak berdaya, maka ia harus berdamai dengan nilai yang dianutnya itu. Apakah masih cocok digunakan atau bisa ditinggalkan dahulu,” kata Purnawan.

Sementara, Dr Joseph Mercola, seorang praktisi terapi holistik dan penulis buku Dr Mercola's Total Health Program, mengatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk menghindarkan diri dari kebosanan adalah dengan menyempatkan diri untuk berefleksi, mencari tahu hal-hal yang paling membuat Anda tertarik, bersemangat, dan ingin tahu

Mari Belajar Bersyukur

Pernahkah Anda merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika melihat kebahagiaan dan rasa terima kasih seseorang yang Anda beri hadiah, sampai rasanya Anda ingin memberikan hadiah lagi kepada orang itu hanya untuk menikmati perasaan bahagia itu lagi atau sekadar untuk menikmati binar-binar kebahagiaan yang Anda lihat di mata orang yang menerima hadiah Anda?

Kejadian seperti ini, menurut Dr Laura De Giorgio, PhD, ahli hipnoterapi dan praktisi di bidang Neuro-Linguistic Programming, menggambarkan pola yang terjadi di alam semesta dan kehidupan ini. Sama seperti getaran rasa senang yang kita rasakan ketika melihat kebahagiaan di wajah orang yang menerima pemberian kita, maka ketika Anda merasakan syukur yang mendalam, maka Anda mulai melepaskan getaran (vibrasi) yang luar biasa, yang akan menarik lebih banyak “hadiah” lain untuk diri Anda.

Bersyukur mengalirkan gelombang positif
Erbe Sentanu, pendiri Katahati Institut pun meyakini hal itu. ”Rasa syukur itu membawa kenikmatan yang terasa di dalam hati, menyebar ke seluruh tubuh, dan akhirnya mempengaruhi hormon, gelombang, dan energi yang ada di tubuh kita. Selain menyehatkan, efeknya juga menarik hal-hal positif di sekitar kita,” ujar Mas Nunu, panggilan akrabnya.

Efek balik dari bersyukur ini bisa dirasakan segera setelah kita bersyukur, tapi bisa juga dalam waktu yang agak lama. Setelah bisa mensyukuri suatu masalah yang menimpa Anda, misalnya, efek balik yang segera akan terasa adalah masalah itu jadi terasa lebih ringan, tak serumit yang kita bayangkan sebelumnya. ”Tapi kalau pembuktian efek bersyukur yang kita harapkan adalah hal yang lebih besar dan ”ajaib”, mungkin dibutuhkan waktu yang lebih lama,” kata Mas Nunu menerangkan.

Efek positif dari bersyukur ini juga telah diteliti oleh Dr  Michael McCollough dari Southern Methodist University, Dallas, Texas, dan Dr Robert Emmon dari University of California.  Dalam penelitian ini McCollough dan Emmon membagi subjek penelitian menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama diminta untuk menuliskan peristiwa yang terjadi sepanjang hari dalam sebuah buku harian, kelompok kedua diminta untuk mencatat pengalaman yang tidak menyenangkan sepanjang hari, sementara kelompok terakhir diminta untuk membuat daftar hal-hal yang mereka sukai yang membuat mereka bersyukur sepanjang hari.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang setiap hari melatih diri untuk bersyukur menunjukkan peningkatan antusiasme, optimisme, energi, dan juga kemantapan dalam menentukan tujuan hidup. Bahkan, kelompok ini juga mengalami penurunan tingkat stres dan depresi, juga lebih ringan tangan.
Kedua peneliti itu juga mencatat bahwa sikap bersyukur ternyata juga menyebabkan terjadinya siklus perlakuan baik pada orang-orang tersebut karena bersyukur akan mencetuskan sikap yang sama pada orang lain. 

7 Cara Membuat Pria Jatuh Cinta

Jatuh cinta itu mudah, lain halnya dengan mempertahankan cinta. Itu sebabnya ada banyak tip untuk melanggengkan hubungan.

Tip para ahli ini biasanya seputar menghindari perilaku negatif:  jangan bertengkar, jangan selingkuh, jangan emosi, jangan nyinyir, jangan ini-jangan itu dan sebagainya. Nyatanya, menghindari hal-hal negatif saja tidak cukup. Jauh lebih ampuh jika hal-hal negatif tersebut diimbangi dengan fokus pada hal-hal yang positif. Penelitian para ahli berikut ini mengungkapkan bahwa mereka yang mempunyai sikap positif terhadap pasangannya maupun hubungan mereka ternyata lebih bahagia perkawinannya dari pasangan yang cuma menghindari hal-hal negatif.

1. Ungkapkan rasa terima kasih
Tampaknya tidak istimewa, tapi mengungkapkan apresiasi Anda pada pasangan berefek seperti booster , yakni menyuntikkan emosi positif ke dalam hubungan Anda. ”Berterima kasih terhadap pasangan membantu kita untuk mengingat dan memperhatikan hal-hal yang positif dari pasangan kita,” kata Sara Algoe, psikolog dari University of Carolina di Chapel Hill.

2. Jangan lupa saling menggoda
Kehidupan rutinitas yang dipenuhi dengan kerja, bayar tagihan, beres-beres rumah, merawat anak, dan sebagainya, akan membuat  kita cenderung lupa  bercanda. ”Hadirkan humor dan canda dalam hubungan Anda lewat guyonan-guyonan ringan, atau saling memberi panggilan sayang yang lucu-lucu,” saran Dacher Keltner, penulis buku Born to Be Good.

3.  Bangun imaji indah
Bagi Anda, mengagumi dan membesar-besarkan sifat-sifat positif  pasangan mungkin adalah sikap yang tidak realistis. Tapi kenyataannya, pasangan yang saling mengidolakan ternyata lebih bahagia daripada mereka yang tidak melakukan hal itu. Hal ini terbukti dalam penelitian Paul Miller, Sylvia Niehuis, dan Ted Huston di University of Texas, Austin, bahwa pasangan yang menilai positif pasangannya juga menganggap pasangannya bersikap lebih baik dari kenyataannya.

4. Perhatikan perubahan
Masalah dengan pasangan adalah keterbiasaan pada pasangan sehingga kita tidak lagi memperhatikan pasangan kita. ”Tapi meski Anda berhenti memperhatikan pasangan Anda, tak berarti bahwa dia berhenti berubah dan berkembang,” kata Ellen Langer, psikolog dari Harvard University.
Jadi, ambillah waktu untuk diam-diam memperhatikan perubahan-perubahan pada pasangan Anda, tandai perbedaan yang Anda lihat sejak saat terakhir Anda memperhatikannya. Siapa tahu perubahan-perubahan itu bisa menjadi kejutan yang indah, membahagiakan, sekaligus merekatkan hubungan Anda berdua.

5. Dukung secara diam-diam
Salah, kalau Anda mengira bahwa Anda harus selalu menunjukkan dukungan secara eksplisit pada pasangan Anda – misalnya dengan memasakkan makanan kesukaannya atau memijat punggungnya  saat ia lelah.
Menurut Niall Bolger, psikolog dari Columbia University, bentuk dukungan yang ditunjukkan secara terang-terangan justru menjadi beban buat pasangan Anda karena ia merasa berkewajiban untuk membalasnya sebagai apresiasi atas dukungan Anda itu. ”Bisa-bisa beban tambahan ini justru membuatnya lebih stres!” kata Bolger.
Jadi, daripada menunjukkan sikap yang berlebihan, cobalah cari cara yang lebih halus. Misalnya, dengan mengisi kulkas di rumah dengan makanan dan minuman favoritnya, atau merapikan ruang keluarga yang berantakan.

Cara Menyampaikan Kritik dan Tetap Disayang

Rina Putri (28 tahun), seorang sekretaris di perusahaan swasta mengaku kesal pada pimpinannya. ”Dia mengkritik pekerjaan saya, seolah-olah saya ini anak TK, yang enggak tahu apa-apa! Padahal, selama ini kan saya juga yang mengerjakan itu semua,” katanya sambil bersungut-sungut. Rina tentu bukanlah satu-satunya orang yang merasa terganggu ketika dikritik. Mungkin, Anda pun pernah mengalaminya.
Tentu, kondisi seperti ini tidak diharapkan, karena tujuan memberi kritik sebenarnya adalah untuk kebaikan. Seperti yang disampaikan oleh Dra Sulis Mariyanti, Psi, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, ”Kritik itu intinya menilai, memberikan feedback, dengan harapan agar segala sesuatu menjadi lebih baik.”
Kalau tujuan kritik sebenarnya adalah untuk memperbaiki, mengapa seringkali justru berefek sebaliknya - membuat orang merasa tidak berharga, direndahkan, dan akhirnya menimbulkan perasaan dendam? 

Kritik bisa menjadi racun
Kritik yang berakibat negatif, oleh Tereza Dietze dalam tulisannya yang berjudul ”Using Criticism as a Positive”, disebut sebagai kritik yang merusak (destructive criticsm). Kritik jenis ini biasanya ditandai oleh rusaknya hubungan baik antara pemberi dan penerima kritik. Bahkan bisa memperburuk segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang kita kritik. ”Energi yang ada di balik kritik yang merusak sama seperti racun,” kata Dietze, seorang fasilitator terapi kesehatan holistik di Seattle (www. beingtotal.com).
Kritik semacam ini biasanya hanya menyoroti kesalahan seseorang sehingga yang mucul adalah reaksi defensif. Akibatnya, kritik tidak memberikan perubahan yang positif, tapi justru menimbulkan rasa dendam terhadap pemberi kritik, seperti yang dialami Putri. 
Karena itu, Mariyanti mengingatkan bahwa ketika kita mengkritik seseorang, yang pertama kali harus diungkapkan adalah sisi positif orang tersebut. ”Jangan hanya membesar-besarkan kesalahan. Semua orang kan punya sisi positif,” Mariyanti mengingatkan.

Ditambahkan, jika orang yang ingin kita kritik merasa bahwa hal-hal baik yang telah dikerjakan sebelumnya dihargai, maka ia akan lebih mudah menerima komentar atas sesuatu yang tidak dikerjakannya dengan baik.
Kritik juga bisa merusak jika disampaikan pada waktu yang tidak tepat. ”Kalau orang yang ingin kita kritik sedang menghadapi banyak masalah, mood-nya pasti juga sedang tidak baik. Kritik yang kita berikan pasti juga tidak akan efektif,” kata Mariyanti.
Karena itu, Mariyanti menyarankan untuk memberi jeda waktu setelah terjadi sebuah kesalahan. ”Memang, jika berhubungan dengan target waktu yang singkat, kritik harus diberikan segera. Tapi sebaiknya pastikan dulu orang yang akan kita kritik bisa bersikap netral terhadap kritik yang kita berikan dan tidak dipengaruhi oleh mood negatif dalam dirinya.”

Selain itu, Mariyanti juga dengan tegas mengatakan bahwa kritik tidak boleh diarahkan pada masalah personal – baik/buruk kepribadiannya, misalnya – dan lebih difokuskan pada masalah atau tindakan yang hendak diperbaiki

Berubah...Siapa Takut?

”Tak ada sesuatu yang abadi, selain perubahan itu sendiri,” kata Heraclitus, filsuf Yunani yang hidup antara tahun 535-475 Sebelum Masehi. Kalimat ini tentu tak diragukan kebenarannya, karena kita sendiri bisa merasakan betapa kehidupan sangat dinamis; terus berubah, tanpa bisa kita prediksi
Lihat saja, seekor ulat, yang membuat kita merasa takut atau jijik, dalam perjalanan hidupnya bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah mengagumkan. Atau, sebutir biji kecil, beberapa tahun kemudian berubah menjadi pohon besar yang kokoh.
Meski begitu, perubahan tak selalu berarti positif. Kondisi ekonomi dunia yang sedang terpuruk saat ini misalnya, membuat banyak orang yang sebelumnya hidup berkecukupan, mengalami masalah finansial akibat pemutusan hubungan kerja atau kebangkrutan usaha.
Perubahan memang seringkali tak bisa kita duga akan menuju ke arah perbaikan atau sebaliknya. Kondisi inilah yang sering membuat kita menjadi takut untuk berubah lalu tetap diam di tempat. Padahal, tempat kita biasa berdiri itu – sering  disebut sebagai zona nyaman – belum tentu yang terbaik. Sementara, jika kita berani berubah, mungkin saja itu adalah kesempatan untuk membuat diri kita menjadi lebih baik, jauh melampaui yang kita bayangkan.
Untuk bisa berubah, dibutuhkan keberanian menyingkirkan semua halangan. Halangan tersebut antara lain:
  1. Takut akan  sesuatu yang belum terjadi
    Salah satu hal yang paling ditakutkan orang saat akan berubah adalah adanya ketidakpastian. Ketakutan ini ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan dalam diri sendiri: Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku salah? Atau bagaimana kalau situasinya lebih buruk dari sekarang?
  2. Lupa bahwa kita selalu punya pilihan.
    Ketika ketakutan akan ketidakpastian masa depan memenuhi benak, maka biasanya kita pun akan kesulitan melihat berbagai kemungkinan di sekitar kita. Akibatnya, kita merasa hanya ada satu pilihan, dan biasanya itu bukanlah pilihan yang menguntungkan.
  3. Merasa sendirian
    Hal lain yang juga menghambat kita untuk berubah adalah di saat menghadapi situasi yang sulit kita cenderung merasa  terisolasi, merasa seolah menjadi satu-satunya orang di dunia ini yang akan menanggung beban atas keputusan yang kita buat.

Mari Belajar Mendengarkan

Mau tahu rahasia kesuksesan seorang psikolog? Simaklah ilustrasi ini. Seorang klien (bahasa kedokterannya pasien) dengan wajah tegang datang ke ruang praktik seorang psikolog, lalu duduk dengan resah sambil meremas-remas tangan. Selama beberapa menit berlangsung tanya-jawab ringan, seperti ”Langsung dari rumah?”, ”Lama menunggu?”, ”Bagaimana di  jalan, lancar?”.
Dan, setelah klien tampak agak tenang, psikolog bertanya, ”Apa yang bisa saya bantu?” Klien pun mulai mengungkapkan masalahnya, mula-mula agak tersendat-sendat, tetapi kemudian makin lancar, dan tanpa terasa satu jam sudah ia mengungkapkan unek-uneknya.
Apa yang dilakukan psikolog? Ia hanya duduk, menatap orang yang sedang berbicara dengan tubuh agak condong ke depan, serta menampilkan dirinya sebagai pribadi yang tenang, ramah, dan santai. Sekali-sekali ia berkomentar ”Oh”, ”Kemudian?”, ”Lalu?”, ”Maksudnya?”, atau ”Bagaimana perasaan Anda?” yang diucapkan dengan penuh perhatian.
Pada akhir pertemuan, psikolog hanya meringkas apa yang diungkapkan klien dan menetapkan waktu untuk pertemuan berikutnya. Lalu, klien dengan wajah berseri, menjabat tangan sambil mengatakan, ”Terima kasih, saya merasa plong” dan tak lupa pula…. membayar sang psikolog. Nasihat manjur apa yang diberikan sehingga terjadi perubahan pada diri klien yang semula tegang menjadi berseri wajahnya, menjadi plong? Sama sekali tak ada nasihat! Yang terjadi adalah psikolog melakukan active listening (mendengarkan secara aktif).

Active listening
Mendengar (hearing) berbeda dengan menyimak (listening), walaupun keduanya sama-sama menggunakan telinga. Contohnya, kalau kita sedang makan malam bersama keluarga di sebuah restoran dan ada seorang penyanyi yang sedang melantunkan sebuah lagu diiringi musik jazz di panggung, apakah kita mendengar nyanyian dan musik itu? Tentu saja mendengar, tetapi karena sedang bercakap-cakap sambil menikmati makanan lezat, kita tidak dapat menyimak alunan lagu dan musiknya.
Jadi, listening adalah mendengar dengan penuh perhatian dan berusaha turut menghayati apa yang didengarnya. Bagaimana dengan active listening yang biasa dilakukan dalam konsultasi psikologi seperti contoh tadi? Tentu saja intensitasnya harus lebih tinggi karena active listening adalah kesediaan dan kemampuan serta keterampilan untuk mendengarkan orang lain dengan sengaja dan penuh perhatian, sehingga maksud si pembicara dapat dipahami, dan perasaan-perasaannya dapat diketahui dan dihayati.

Menerapkan prinsip SOLER
Active listening terungkap juga secara non verbal, antara lain lewat posisi tubuh yang menunjukkan perhatian seperti dirumuskan dalam SOLER, yaitu:
  • SFace the other person squarely (hadapi lawan bicara dengan tatap muka, tidak menyamping, apalagi membelakanginya)
  • OKeep an open posture (tangan terbuka, tidak terlipat di dada, masuk ke kantong, atau bertolak pinggang).
  • LLean towards the other person (condongkan tubuh sedikit, kira-kira 15 derajat ke arah lawan bicara Anda)
  • EKeep eye contact (tatap mata lawan bicara, tidak langsung pada bola matanya, tetapi di dahi, sedikit di atas alis. Dan, bukan terus-menerus dipelototi).
  • RBe relaxed, please. (santai, ramah, dan dengan wajah yang jernih. Jangan mendengarkan orang lain sambil bekerja atau menelepon). Apakah boleh tersenyum? Tentu saja boleh ikut tersenyum, asal di saat orang itu merasa lucu dengan ceritanya sendiri. Jangan tersenyum saat ia menceritakan kesedihannya.
Menerapkan prinsip SOLER dengan baik menandakan kita menaruh perhatian pada lawan bicara, sehingga ia merasa bebas untuk mengungkapkan keluhan-keluhannya. Dan begitu keluhan-keluhan terungkap, hasilnya adalah kelegaan. 

TIPS MELAMAR KERJA DAN SUKSES KERJA BAGIAN ADMINISTRASI

TIPS MELAMAR KERJA DAN SUKSES KERJA BAGIAN ADMINISTRASI Tentu tidak asing lagi , saat kita mendengar dibutuhkan lowongan dibidang Adminis...